Beranda | Artikel
Pernyataan Tentang Hakikat dan Syariat
Selasa, 20 Juni 2023

Disusun oleh : Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas

 

Pembagian istilah Thariqat, Syariat, Hakikat dan Ma’rifat adalah istilah yang baru (muhdats) yang diada-adakan oleh kaum Shufi . Yang dimaksud hakikat menurut mereka adalah kedudukan seseorang yang telah mencapai maqam (kedudukan) tertentu, sehingga dengan (maqam) itu dapat menggugurkan kewajiban syariat Islam. Sedangkan syariat adalah istilah untuk (kedudukan) orang awam yang masih melaksanakan kewajiban syariat Islam. Istilah ini pada hakikatnya dapat membatalkan dan menggugurkan ajaran agama Islam sehingga dapat mengeluarkan orang itu dari Islam dengan keyakinannya. Hal itu berarti telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang haq. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang beramal tanpa ada tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.2

Tidak ada thariqat (jalan) selain jalan yang dilalui Rasul ﷺ , tidak ada hakikat selain hakikat yang dibawa Beliau ﷺ dan tidak ada syariat selain syariat Beliau ﷺ . Begitu juga tidak ada keyakinan, melainkan keyakinan yang Beliau ﷺ yakini. Tidak ada seorang pun yang dapat menemui Allâh سبحانه وتعالى , mencapai keridhaan-Nya, surga dan kemuliaan dari-Nya, melainkan hanya dengan mengikuti Nabi ﷺ , secara lahir maupun batin.

Barangsiapa belum membenarkan atau belum mengimani apa yang Beliau ﷺ kabarkan dan tidak konsekuen dalam mentaati apa yang Beliau ﷺ perintahkan, baik itu berkaitan dengan amalan batin yang terdapat di hati, ataupun amalan lahir yang dilakukan oleh tubuh, maka ia belum dapat menjadi Mukmin sejati, apalagi menjadi wali Allâh, meskipun ia memiliki kemampuan luar biasa bagaimana pun wujudnya!3

Barangsiapa beranggapan bahwa orang yang berbuat hal-hal aneh dan berlebih-lebihan dalam beribadah itu wali Allâh , padahal mereka tidak ber-itt iba’ kepada Rasûlullâh ﷺ , baik dalam ucapan maupun perbuatannya, bahkan menganggap mereka mempunyai kelebihan dibanding dengan orang-orang yang itt iba’ (mengikuti) Rasûlullâh ﷺ , maka ia (orang yang berkeyakinan seperti itu) adalah ahli Bid’ah yang sesat dan menyimpang dalam keyakinannya. Sesungguhnya orang tadi, kalau bukan syaitan (berwujud manusia), boleh jadi mungkin seorang gila yang tidak mukallaf.

Bagaimana mungkin orang seperti itu lebih diutamakan daripada wali Allâh yang ber-itt iba’ kepada Rasûlullâh ﷺ ? Atau disamakan dengannya? Dan tidaklah mungkin untuk dikatakan bahwa orang itu memang tampak tidak ber-itt iba’ secara lahir, namun sebenarnya dia ber-itt iba’ secara bathin? (Keyakinan) ini juga sangat keliru. Karena itt iba’ kepada Rasûlullâh ﷺ haruslah secara lahir maupun batin. 4

Yunus bin Abdil A’la ash-Shadafi رحمه الله (wafat th. 264 H) pernah menyatakan, “Aku berkata kepada al-Imam asy-Syâfi ’i رحمه الله , ‘Aku mendengar Sahabat kita al-Laits bin Sa’ad رحمه الله menyatakan bahwa apabila kita melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, janganlah kita langsung menganggapnya sebagai wali Allâh sebelum kita mengukur amalannya dengan al-Qur’an dan Sunnah.’

Imam asy-Syâfi ’i رحمه الله menanggapi, ‘Ucapannya itu kurang.’ (Lalu beliau رحمه الله menambahkan), ‘Bahkan jikakalian menyaksikan seseorang dapat berjalan di atas air, atau terbang di udara sekalipun, janganlah kalian menganggapnya sebagai wali, sebelum kalian mengukur amalannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.’”588

Sungguh benar seseorang yang berkata dalam sya’irnya:

إذَ رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيْرُ،

وَفَوْقَ مَاءِ البَحْرِ قَدْ يَسِيْرُ.

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ،

فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ وَبِدْعِيٌّ.

Jika engkau melihat seseorang dapat terbang melayang,

dan berjalan di lautan dengan mengambang. Tetapi dilanggarnya batas-batas syariat Allâh,

maka ia adalah orang yang ditunda (siksaannya) oleh Allâh dan ia adalah pelaku bid’ah.5

Adapun mereka yang beribadah dengan metode meditasi dan menyepi, bahkan sampai meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah, mereka termasuk golongan orang-orang yang tersesat dalam upayanya itu di dunia, namun mereka beranggapan bahwa mereka telah berbuat baik. Allâh سبحانه وتعالى berfi rman (yang artinya): Katakanlah (Muhammad): ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?’ (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.’” (QS. Al-Kahfi/18:103-104)

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Keyakinan itu sudah terpatri dalam hati mereka. Nabi ﷺ bersabda: Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at (berjama’ah) sebanyak tiga kali, karena malas dan bukan karena udzur, maka Allâh akan menutup pintu hatinya.” 6

Maka, setiap orang yang menyeleweng dari ittiba’ kepada Rasûlullâh ﷺ kalau dia seorang berilmu, maka ia akan dimurkai oleh Allâh سبحانه وتعالى . Dan kalau ia tidak berilmu, maka ia termasuk orang yang sesat.

Adapun orang yang bertumpu kepada kisah Nabi Musa عليه السلام bersama Nabi Khidhir عليه السلام , mengenai dibolehkannya seseorang meninggalkan petunjuk wahyu dengan mengikuti ilmu ladunni yang diyakini adanya oleh orang yang kehilangan taufiq Ilahi, maka sesungguhnya Nabi Musa عليه السلام tidaklah diutus kepada Nabi Khidhir عليه السلام . Sehingga Nabi Khidhir tidak diperintahkan untuk ber-itt iba’ kepadanya.

Oleh sebab itu, beliau bertanya kepada Nabi Musa عليه السلام , “Apakah engkau Musa Bani Israil?” Nabi Musa menjawab, “Benar.” Sedangkan Nabi Muhammad ﷺ diutus kepada segenap jin dan manusia. Bahkan kalau Nabi Isa عليه السلام turun ke bumi nanti, beliau juga hanya berhukum dengan syariat Rasûlullâh Muhammad ﷺ .

Jadi, barangsiapa berkeyakinan bahwa dirinya bersama Rasûlullâh ﷺ dapat disejajarkan dengan posisi Nabi Khidhir عليه السلام dengan Nabi Musa عليه السلام , atau ia berpendapat bahwa hal tersebut mungkin berlaku bagi salah seorang di antara manusia, maka orang itu harus memperbaharui Islamnya kembali dan mengucapkan syahadat kembali dengan benar. Karena ia telah keluar dari dienul Islam secara mutlak. Dan tidak mungkin digolongkan menjadi wali-wali Allâh, tetapi justru ia tergolong wali-wali syaithan. Konteks ini akan membedakan antara siapa yang zindiq dan siapa yang lurus.7

Wallâhu a’lam.


Footnote:

  1. Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab al-Minhatul Ilâhiyyah fî Tahdzîb Syarhith Thahâwiyyah (hlm. 75-76) oleh Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, cet. II/Darush Shahabah, th. 1416 H dan Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 767-774), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Dr. Abdul Muhsin at-Turki.
  2. Shahih: HR. Muslim (no. 1718 (18)), Abu Dawud (no. 4606) dan Ibnu Majah (no. 14), dari Aisyah.
  3. Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 768).
  4. Lihat Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 769) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turki, dan Tafsîr Ibni Katsîr (II/286-287) tahqiq Abu Ishaq al-Huwaini.
  5. Manhajul Imâm asy-Syafi ’i fî Itsbâtil ‘Aqîdah (I/140) oleh Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-Aqil.
  6. Hasan shahih: HR. Abu Dawud (no. 1052), at-Tirmidzi (no. 500), Ibnu Majah (no. 1125) dan an-Nasa-i (III/88), ad-Darimi (I/369), Ibnu Khuzaimah (no.1858), Ibnul Jarud (no. 288), Ibnu Hibban dalam Mawariduzh Zham’an (no. 554), al-Baihaqi (III/ 147, 172), al-Hakim (I/280) dan Ahmad (III/424), dari Sahabat Abul Ja’d Amr bin Bakr adh-Dhamri, sanadnya hasan shahih.
  7. Lihat Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 774) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turki.

 

MAJALAH AS-SUNNAH EDISI 05/THN XX/DZULQA’DAH 1437H/SEPTEMBER 2016M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/pernyataan-tentang-hakikat-dan-syariat/